PERLINDUNGAN KONSUMEN

0
  1. Tujuan Perlindungan Konsumen

Sesuai dengan pasal 3 Undang-undang no. 8 tahun 1999 Perlindungan Konsumen, tujuan dari Perlindungan ini adalah :

  • Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk    melindungi diri,
  • Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa,
  • Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen,
  • Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi,
  • Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan ini sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha,
  • Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.

Azas perlindungan konsumen

Adapun Azas perlindungan konsumen antara lain :

  • Asas Manfaat; mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan ini harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan,
  • Asas Keadilan; partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil,
  • Asas Keseimbangan; memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual,
  • Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen; memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan;
  • Asas Kepastian Hukum; baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

 

Macam-macam hak dan kewajiban konsumen

Sesuai dengan penjelasan diatas, bahwasanya perkembangan perindustrian disatu sisi membawa dapak postif bagi konsumen namun disatu sisi dapat pula mengakibatkan para pelaku usaha bertindak sewenang-wenang dan dapat merugikan konnsumen itu sendiri. Berkenaan dengan pertimbangan itulah, maka perlu juga diketengahkan apa saja yang menjadi hak-hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha. Dalam undang-undang perlindungan konsumen bagian hak-hak dan kewajiban konsumen diatur dalam pasal 4 sampai 5 undang-undang perlindungan konsumen. Penjaarannya adalah sebagai berikut :

Pasal 4 UUPK, hak-hak dari konsumen adalah :

  1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang atau jasa
  2. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
  3. Hak atas inforasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan /atau jasa yang digunakan.
  4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.
  5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
  6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
  7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar, jujur dan tidak diskriminatif.
  8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
  9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Diatas merupakan penjabaran dari pasal 4 UUPK, yang menjabarkan tentang hak-hak dari konsumen. Jika kita perhatikan hak-hak dari penjabaran diatas, maka secara keseluruhan pada dasarnya dikenal 10 macam hak-hak konsumen, kesepuluh macam hak-hak konsumen tersebut adalah sebagai berikut :

 

  1. Hak atas keamanan dan keselamatan

Hak atas keamanan dan keselamatan ini dimaksudkan untuk menjamin keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan barang atau jasa yang diperolehnya, sehingga konsumen dapat terhindar dari kerugian (psikis dan maupun fisik) apabila mengkonsumsi suatu produk.

2. Hak untuk memperoleh informasi

Hak atas informasi yang jelas dan benar dimaksudkan agar konsumen dapat memperoleh gambaran yang benar tentang suatu produk, karena dengan informasi tersebut konsumen dapat memilih produk yang diinginkan serta terhindar dari kerugian akibat kesalahan dalam penggunaan produk. Informasi yang merupakan hak konsumen tersebut diantaranya : efek samping pengunaan produk tersebut, tanggal kadaluarsa serta identitas produsen dari produk tersebut.

3. Hak untuk memilih

Hak untuk memilih dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada konsumen untuk memilih produk-produk tertentu sesuai dengan kebutuhannya,tanpa adanya tekanan dari oihak luar. Hak memilih yang dimiliki dari konsumen ini hanya ada jika ada alternatif pilihan dari jenis produk tertentu, karena jika suatu produk dikuasaui secara monopoli oleh suatu produsen saja, maka dengan sendirinya hak memilih ini tidak akan berfungsi.

Berdasarkan hal tersebut maka ketentuan yang dapat membantu penegakan hak tersebut dapat dilihat dalam undang-undang nomor 5 tahun1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, yang terdapat dalam pasal 19 maupun pasal 25 ayat (1).

4. Hak untuk didengar

Hak untuk didengar ini merupakan hak dari konsumen agar tidak dirugikan lebih lanjut . hak ini dapat berupa pertanyaan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan produk-produk tertentu apabila informasi yang diperoleh dari produk tersebut kurang memadai ataukah berupa pengaduan atas kerugian yang telah dialami akibat penggunaa produk.

5. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup

Hak ini merupakan hak yang sangat mendasar, karena menyangkut hak untuk hidup. Dengan demikian setiap oranag atau konsumen berhak untuk memperoleh kebutuhan dasar (barang atau jasa) untuk mempertahankan hidupnya secara layak.

6. hak untuk memperoleh ganti kerugian

hak atas ganti kerugian ini, dimaksudkan untuk memulihkan keadaan yang telah menjadi rusak akibat adanya penggunaan barang atau jasa yang tidak memenuhi harapan konsumen. Hak ini sangat terkait dengan penggunaan produk yang telah merugikan konsumen baik kerugian materi maupun kerugian yang menyangkut diri konsumen.

7. Hak untuk memproleh pendidikan konsumen

Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen ini dimaksudkan agar konsumen memperoleh pengetahuan maupun keterampilan yang diperlukan agar dapat terhindar dari kerugian akibat penggunaan produk, karena dengan pendidikan konsumen tersebut, maka konsumen akan leih kritis dan lebih teliti dalam membeli suatu produk.

8. Hak memperoleh lingkungan yang bersih dan sehat

Hak atas lingkungan yang bersih dan sehat ini sangat penting bagi setiap konsumen dan lingkungan. Hak untuk memperoleh lingkungan yang bersih dan sehat serta hak untuk memperoleh informasi tentang lingkungan ini diatur dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997.

9. Hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya.

hak ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen dari kerugian akibat permainan harga secara tidak wajar. Karena dalam keadaan tertentu konsumen dapat saja membayar harga barang jauh lebih tinggi daripada kegunaan atau kualitas yang diperolehnya.penegakan hak konsumen ini didukung pula oelh ketentuan dalam pasal 5 ayat(1) dan pasal 6 UndangUndang Nomor 5 tahun 1999.

10. Hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum yang patut

Hak ini, tentu saja dimaksudkan, untuk memulihkan keadaan konsumen yang telah dirugikan akibat penggunaan produk dengan melalui jalur hukum. Hak ini berkaitan erat jika terjadi suatu sengketa antar konsumen dan pelaku usaha, sebenarnya penyelesaian sengketa ini tidak harus melalui jalur hukum pengaturannya terdapat pada Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang arbritase dan alternatif peyelesaian sengketa, dan didalam pasal47 UUPK. Sedangkan untuk penyeesain sengketa yang melalui jalur hukum diatur dalam48 UUPK.

 

Adapun kewajiban dari konsumen ini diatur dalam pasal 5 UUPK diantaranya :

  1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang atau jasa demi keselamatan.
  2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang atau jasa.
  3. Membayar sesuai nilai tukar yang disepakati.
  4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan secara patut.

TINJAUAN UMUM TENTANG BILL OF LADING

0
  1. Pengertian Dan Pengaturan Bill Of Lading

Bill of Lading merupakan dokumen pengangkutan barang dengan kapal laut. Bill of Lading (B/L) lebih dikenal dengan nama ‘konosemen’ yaitu dokumen pengapalan yang sangat penting karena mempunyai sifat jaminan atau pengamanan. Bill of Lading ini menunjukkan hak pemilikan atas barang-barang yang dikirim melalui laut.

Kitab Undang-undang Hukum Dagang Buku II Bab V. A, tentang Pengangkutan Barang di  dalam Pasal 506 memberikan pengertian Bill of Lading:

“Konosemen adalah suatu Surat yang bertanggal, dalam mana si pengangkut menerangkan, bahwa ia telah menerima barang barang tersebut untuk diangkutnya ke suatu tempat tujuan tertentu dan menyerahkannya kepada seseorang tertentu yang

ditunjuk beserta dengan klausula-klausula apa penyerahan akan terjadi.”

 

  1. Syarat Sah Bill of Lading

Untuk sahnya suatu Bill of Lading harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

  1. B/L harus dikeluarkan oleh seorang pengangkut dan ditandatangani;
  2. Memuat pernyataan dari pengangkut bahwa ia telah menerima sejumlah barang;
  3. Memuat pernyataan dari pengangkut bahwa ia akan mengangkut barang-barang yang diterimanya dan sesuai dengan syarat-syarat penyerahannya akan diserahkan ditempat tujuan;
  4. Memuat syarat-syarat penyerahannya.

 

Berdasarkan ketentuan-ketentuan Uniform Customs and Practise for Documentary Credit (UCP) no 500 tahun 1993, pasal 32, pada system pembayaran Letter of Credit, tidak semua B/L dapat diterima. Ketentuan mengenai dokumen pengangkutan laut yang dapat diterima bank diatur dalam UCP 500 pasal 23 sampai dengan pasal 26. Pasal 23 mengatur mengenai Marine /Ocean Bill of Lading; pasal 24 mengatur mengenai Sea Way Bill of Lading yang tidak dapat dinegosiasikan; pasal 25 mengatur mengenai Charter party Bill of Lading; pasal 26 mengenai dokumen angkutan multimodal.

Ciri Bill of Lading yang dapat diterima bank berdasarkan pasal 23 UCP 500 adalah:

  1. Kredit yang mensyaratkan suatu Bill of Lading yang mencakup suatu pengapalan dari pelabuhan ke pelabuhan (port-to port shipment), kecuali apabila ditetapkan lain dalam kredit bank-bank harus menerima suatu dokumen, apapun namanya, yang:
  • Secara nyata menunjukkan nama pengangkut (carrier) dan ditandatangani atau apabila dinyatakan keasliannya oleh:
  • Pengangkut (carrier) atau agen yang ditunjuk atau atas nama pengangkut yang bersangkutan, atau
  • Nahkoda atau agen yang ditunjuk untuk atau atas nama nahkoda yang bersangkutan. Tiap tanda tangan atau pembuktian keaslian dari pengangkut (carrier) atau nahkoda harus diberi tanda sebagai pengangkut (carrier) atau nahkoda. Agen yang menandatangani atau membuktikan keaslian untuk kepentingan perusahaan pengangkut atau nahkoda juga harus menunjukkan nama dan jabatan pihak tersebut, missal pengangkut (carrier) atau nahkoda, atas nama siapa agen tersebut bertindak.
  • Menunjukkan bahwa barang-barang sudah dimuat di atas kapal, atau dikapalkan dengan menggunakan kapal yang sudah ditentukan.

Pemuatan di atas kapal atau pengapalan dengan suatu kapal yang ditentukan boleh diberi tanda dengan kata-kata yang tercetak pada Bill of Lading bahwa barang–barang tersebut sudah dimuat di atas kapal yang sudah ditentukan, dalam mana tanggal penerbitan Bill of Lading tersebut akan dianggap sebagai tanggal pemuatan di atas kapal, dan tanggal pengapalan.

  • Menunjukkan pelabuhan muat dan pelabuhan bongkar yang ditentukan dalam kredit, meskipun dokumen:
  • Menunjukkan suatu tempat penerimaan yang berbeda dari pelabuhan muat dan atau suatu tempat tujuan akhir berbeda dari pelabuhan bongkar, dan atau
  • Memiliki tanda “intended’ atau kualifikasi yang serupa sehubungan dengan pelabuhan muat dan atau pelabuhan bongkar, sepanjang dokumen tersebut juga menyebutkan pelabuhan–pelabuhan muat dan atau bongkar yang disebutkan dalam kredit tersebut.
  • Terdiri dari hanya asli Bill of Lading, atau bila diterbitkan lebih dari satu asli, seberkas lengkap sebagaimana diterbitkan.
  • Nyata memiliki semua persyaratan dan kondisi pengangkutan, atau beberapa dari persyaratan dan kondisi tersebut menunjuk kepada suatu sumber atau dokumen selain Bill of lading (short form/blank back Bill of Lading) dan bank-bank tidak akan memeriksa isi persyaratan dan kondisi tersebut
  • Tidak memiliki petunjuk bahwa dokumen tersebut tunduk pada charter party dan atau tidak ada petunjuk bahwa kapal pengangkut dijalankan dengan layar saja
  • Dalam segala hat memenuhi ketentuan-ketentuan dalam kredit.

 

  1. Fungsi Bill of Lading

Konosemen atau Bill of Lading mempunyat beberapa fungsi, yakni:

  1. Sebagai bukti penerimaan muatan dari shipper untuk diangkut ke pelabuhan tujuan yang tercantum dalam Bill of Lading.
  2. Sebagai kontrak pengangkutan laut antara tiga pihak yaitu shipper (pengirim/eksportir), carrier (perusahaan pelayaran) dan Cosignee (penerima barang/Importir).
  3. Sebagai kuitansi pembayaran uang tambang (freight) apabila uang tambang dibayar di pelabuhan muat (freight prepaid) atau perjanjian pembayaran uang tambang bila uang, tambang dibayar di pelabuhan tujuan (freight payble at destination)
  4. Sebagai documents title, artinya pemegang Bill of Lading adalah pemilik barang yang disebutkan didalamnya. Sebagai dasar penyelesaian klaim/tuntutan ganti rugi yang diajukan oleh pengirim muatan atau wakilnya kepada pengangkut/perusahaan asuransi berhubung dengan kekurangan atau kerusakan pada barang muatan.

 

  1. Bentuk dan Jenis Bill of Lading

Konosemen atau Bill of Lading dapat berbentuk:

  1. Konosemen Atas nama, dengan mana nama si penerima disebut dengan jelas dalam. Cara penyerahan konosemennya adalah dengan Cessie
  2. Konosemen atas pengganti, konosemen ini dapat diperalihkan dan juga cukup aman. Cara penyerahan konosemennya dengan endossemet.
  3. Konosemen atas tunjuk, konosemen ini mengandung risiko yang besar sekali karena penyerahan hak atas konosemen itu hanya terjadi dari tangan ketangan saja, sehingga kemungkinan iatuh ketangan orang yang tidak berhak adalah lebih besar.

Mengacu pada UCP No. 500 tahun 1993 pasal 32, B/L terbagi dua jenis, yaitu apabila dilihat dari segi fisik barang

  1. Foul B/L / Dirty R/L atau Unclean B/L

Jenis B/L yang mengandung catatan tentang kerusakan barang atau cacat barang, Seperti yang terkandung dalam pasal 32 ayat b tersebut, maka bank akan menolak jenis B/L ini kecuali ada surat pernyataan/jaminan dari pemilik barang atau pihak shipper untuk memberikan jaminan untuk tidak melakukan pengklaim-an. Bank akan menolak dokumen pengangkutan yang memuat klausul atau catatan yang menyatakan secara jelas kondisi barang dan/atau kemasan yang cacat kecuali kredit secara jelas menyatakan bahwa klausul atau catatan dimaksud dapat diterima.

  1. Clean Bill of Lading atau B/L yang bersih

Jenis B/L yang tidak mengandung catatan tentang keadaan fisik barang yang diangkut oleh perusahaan pelayaran yang mengeluarkan B/L tersebut.

 

Secara umum jenis jenis Bill of Lading dapat diuraikan sebagai berikut:

  1. Negotiable B/L (OriginaL B/L) dan Non Negotiable B/L

Negotiable B/L adalah B/L yang dapat digunakan sebagai dokumen berharga untuk pencairan L/C atau dapat diperjualbelikan. Sebagai lawan negotiable B/L ini kita mengenal Non Negotiable B/L yaitu copy B/L yang tidak dapat dipergunakan untuk pencairan L/C.

  1. On Board B/L dan Receipt B/L

On Board B/L adalah B/L yang diterbitkan oleh pengangkut sebagai tanda terima barang di mana barangnya sudah diterima di atas kapal pengangkut. Sedangkan Receipt B/L adalah B/L yang diterbitkan pengangkut, namun barang belum diterima di atas dek kapal.

  1. Foul B/L atau Dirty B/L / Unclean B/L,

Jenis B/L yang mengandung catatan atau kerusakan barang atau cacat barang. Seperti terkandung dalam pasal 32 ayat b, maka bank akan menolak jcnis B/L ini, kecuali ada surat pernyataan/jaminan dari pcmilik barang atau pihak shipper untuk memberikan jamman untuk tidak melakukan peng-klaiman dikemudian hari, surat pernyataan tersebut dikenal dengan Letter of Indemnity. Bila pihak bank menerima jenis Clean B/L

disertai dengan Letter of Indemnity, maka pihak bank mengetahui bahwa keadaan barang yang akan diangkut oleh maskapai pelayaran tersebut terdapat catatan tentang

keadaan fisik baring, namun ketentuan dalam artikel/pasal tersebut memungkinkan bank menerima dokumen tersebut.

Clean Bill of Lading atau B/L yang bersih. Jenis B/L yang tidak mengandung catatan tentang keadaan fisik barang yang telah diangkut oleh perusahaan pelayaran yang mengeluarkan B/L tersebut.

  1. Long form and Short Form

Long form B/L merupakan B/L yang mencantumkan syaratsyarat pengangkutan pada halaman belakangnya. Yang merupakan sumber acuan. Jika, terjadi perselisihan antara

pengirim dan pengangkut. Syarat-syarat itu diterapkan secara sepihak oleh perusahaan pelayaran. Sebaliknya Short Form B/L tidak mencantumkan syarat-syarat pengangkutan tersebut. Jika terjadi perselisihan maka hukum di mana perusahaan pelayaran berdomisili yang dipakai.

  1. Combined Transport B/L ( Multimodal B/L); Single Modal B/L

Multimodal B/L adalah jenis B/L yang menggunakan lebih dari satu macam alat transportasi dengan B/L yang sama. Alat angkutan tersebut dapat berupa alat transportasi udara, laut dan darat. Sedangkan Single B/L, hanya menggunakan satu alat angkut saja.

  1. Express B/L

Express B/L adalah B/L yang dikirim melalui faxcimile, dan untuk itu B/L yang asli tidak perlu diserahkan.

  1. Stale B-L

Stale B/L merupakan B/L yang sudah “basi” karena B/L tersebut datangnya terlambat dan kapal pengangkut telah dating terlebih dulu. Hal seperti ini biasanya terjadi untuk jarak pengangkutan yang dekat. Lazimnya B/L dianggap “basi” jika dijauhkan ke bank lebih dari 21 hari dihitung dari tanggal pengeluaran B/L tersebut. Tujuannya adalah untuk melindungi importir dari biaya-biaya yang tidak perlu karena kelambatan penyelesaian pabean, sebagai akibatnya terlambatnya importir menerima dokumen pengapalan.

  1. Switch B/L

Switch B/L merupakan B/L, yang diganti. Hal seperti ini biasanya terjadi dalam Back to Back L/C, dimana perantara/trader tidak ingin pembeli mengetahui alamat penjual, sehingga nama shipper diganti dengan nama trader dalam B/L nya.

  1. Thrid Party B/L

Dalam jenis B/L ini nama shipper yang tercantum dalam L/C adalah nama shipper lain. Misalnya karena eksportir awal tidak sanggup mengirimkan barang, sehingga diambil alih oleh shipper lain. Syarat penggunaan B/L jenis ini adalah jika L/C membolehkannya, kalau tidak diatur maka tidak boleh dipergunakan.

  1. Ocean B/L dan House B/L

Ocean B/L adalah B/L, yang diterbitkan oleh perusahaan pelayaran, sedangkan House B/L adalah B/L yang diterbitkan oleh forwarding company.

  1. Chartered B/L

Chartered B/L adalah B/L yang diterbitkan oleh pihak yang mencharter kapal.

 

 

 

 

  1. Para Pihak dalam Bill of Lading 32
  2. Shipper (pengirim/eksportir);

Salah satu kewajiban eksportir adalah mempersiapkan barang menjadi siap ekspor dan mengirimkannya kepada pembeli/importir. Untuk itu, eksportir harus mengurus dan mengadakan kontrak pengangkutan dalam rangka menyampaikan barang ekspor kepada importir.

  1. Carrier (perusahaan pelayaran)

Dalam perdagangan internasional sebagian barang ekspor dan impor diangkut melalui laut, karena itu jasa pelayaran memegang peranan yang sangat menentukan.

  1. Cosignee (penerima barang/importir).

Dalam hal Letter of Credit, importir akan menerima barangnya setelah shipping documents diterima.

 

  1. Tanggung jawab Eksportir terhadap Bill of Lading dalam Letter of Credit

Eksportir bertanggung jawab melengkapi dokumen-dokumen yang disepakati dalam Letter of Credit termasuk di dalamnya Bill of Lading. Dokumen-dokumen, yang harus diserahkan oleh eksportir termasuk didalamnya Bill of Lading, harus sesuai dengan kondisi syarat kredit. Dimana kesesuaian Bill of Lading tersebut merupakan tanggung jawab eksportir sehingga dalam menyiapkan dan menyerahkan Bill of Lading harus mengacu pada syarat-syarat yang telah disepakati dalam Letter of Credit.

Penyimpangan dari syarat-syarat yang tercantum dalam L/C dapat dijadikan alasan Bank untuk menolak pembayaran. Hal ini berarti eksportir tidak dapat menerima pembayaran barang yang sudah dikirimkan. Salah satu hal yang harus diperhatikan eksportir terhadap B/L adalah penanggalan yang terdapat pada B/L. Dalam Article 22a UCP revisi 1993 disebutkan bahwa L/C harus menetapkan tanggal jatuh tempo penyerahan dokumen untuk pembayaran, akseptasi atas negosiasi. Sedang dalam Pasal 22b selanjutnya disebutkan bahwa dokumen harus diserahkan pada atau sebelum tanggal jatuh tempo dari L/C tersebut.

Apabila L/C tidak menetapkan tanggal penyerahan dokumen, maka Bank akan menolak dokumen yang diserahkan melebihi dari 21 hari setelah tanggal Bill of Lading. Hal ini tercantum dalam Article 43a UCP Revisi 1993. Dengan demikian tanggal suatu konosemen sangat penting karena tanggal itulah yang menunjukkan atau menentukan kapan dokumen tersebut diterbitkan, kapan dokumen tersebut jatuh tempo, dan kapan dokumen tersebut harus diserahkan. Bill of Lading dalam cara pembayaran Letter of Credit diatur dalam Uniform Customs and Practise.for Documentary Credits (UCP) no 500 tahun 1993, kecuali apabila masing-masing pihak mengatur lain.

Hal-hal yang harus diperhatikan oleh eksportir pada Bill of Lading:

  1. B/L yang diajukan harus merupakan seperangkat dokumen sah yang lengkap, seperti yang dikeluarkan. Jumlah konosemen asli yang ditandatangani dan dikeluarkan perusahaan pelayaran yang merupakan satu perangkap dokumen lengkap selalu diterangkan di bagian bawah konosumen di atas tanda tangan.
  2. Pelabuhan muat dan pelabuhan bongkar harus seuai dengan persayaratan kredit.
  3. Tanda-tanda pengapalan dan nomor-nomornya harus sesuai dengan tanda pengapalan dan nomor-nomor dalam dokumen lainnya seperti faktur dagang, dokumen asuransi dan sebagainya.
  4. Uraian barang yang terdapat dalam konosemen harus sesuai, atau setidak-tidaknya merupakan penjelasan umum dari barang yang terdaftar dalam faktur, dokumen asuransi dan dokumen pengapalan lainnya yang diserahkan, dan tidak bertentangan dengan uraian barang dalam kredit atau dokumen lainnya.
  5. Barang dikirimkan kepada pihak yang disebutkan dalam kredit.
  6. Tidak ada klausul tambahan luar biasa pada konosemen yang secara tegas menerangkan keadaan tidak baik dari barang-barang satu pengepakan sehingga menyebabkan B/L menjadi “tidak bersih” atau unclean.

 

  1. Penyimpangan Dokumen dalam Letter of Credit

Di dalam praktek transaksi perdagangan Luar negeri yang menggunakan yang menggunakan cara pembayaran L/C terdapat penggolongan penyimpangan yaitu:

  1. Penyimpangan atas syarat-syarat L/C

Penyimpangan atas syarat-syarat L/C antara lain: tidak lengkapnya dokumen yang telah ditentukan, antara dokumen yang satu dengan yang lain tidak konsisten, melampaui batas akhir tanggal pengapalan, L/C sudah melampaui waktu yang sudah ditentukan (expired).

  1. Penyimpangan yang bersumber pada dokumen yang belum sempurna. Bentuk penyimpangan-penyimpangan atas dokumen tersebut dapat digolongkan dalam dua kelompok, yaitu:
  • Penyimpangan yang sifatnya dapat diperbaiki (Correctable Discrepancies)

Correctable Discrepancies adalah penyimpangan-penyimpangan yang disebabkan oleh kekeliruan kecil dalam penyiapannya dan dimungkinkan bagi eksportir untuk memperbaiki dokumen yang menggalami penyimpangan tersebut. Kekeliruan-kekeliruan seperti ini disebut dengan minor discrepancies.

  • Penyimpangan yang sifatnya tidak dapat diperbaiki (Uncorrectable Discrepancies)

Uncorrectable discrepancies adalah penyimpangan yang dianggap besar dan tidak dapat diperbaiki langsung oleh eksportir. Penyimpangan-penyimpangan ini dinamakan major discrepancies.

VARIABEL PENELITIAN

0

 

1. PENGERTIAN VARIABEL

Istilah variabel dapat diartikan bermacam – macam. Dalam tulisan ini variable diartikan sebagai segala sesuatu yang akan menjadi objek pengamatan penelitian. Sering pula dinyatakan variabeL penelitian itu sebagai faktor-faktor yang berperan dalam peristiwa atau gejala yang akan diteliti.

Kalau ada pertanyaan tentang apa yang akan di teliti, maka jawabannya berkenaan dengan variabel penelitian.Jadi variabel penelitian pada dasarnya adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulan.Secara teoritis variabel dapat didefiisikan sebagai atribut seseorang, atau objek yang mempunyai “Variasi” antara satu orang dengan yang lain atau satu objek dengan objek yang lain (Hatch dan Farhady,1981). Dinamakan variabel karena ada variasinya.

Menurut Y.W Best yang disebut variabel penelitian adalah kondisi-kondisi atau serenteristik-serenteristik yang oleh peneliti  dimanupulasikan, dikontrol atau dioservasi dalam suatu penelitian. Sedang Direktorat Pendidikan Tinggii Depdikbud menjelaskan bahwa yang dimaksud variabel penelitian adalah segala sesuatu yang akan menjadi objek pengamatan penelitian. Dari kedua pengerian tersebut dapatlah dijelaskan bahwa variabel penelitian itu meliputi faktor-faktor yang berperan dalam peristiwa atau gejala yang kan diteliti.

Apa yang merupakan variabel dalam sesuatu penelitian ditentikan oleh landasan teoritisnya, dan ditegaskan oleh hipotesis penelitian. Karena itu apabila landasan teoritisnya berbeda, variabel-variebel penelitiannya juga akan berbeda. Jumlah variabel yang dijadikan objek pengamatan akan ditentukan oleh sofistikasi rancangan penelitiannya. Makin sederhana sesuatu rancangan penelitian, akan melibatkan variabel-variabel yang makin sedikit jumlahnya, dan sebaliknya.

2. KLASIFIKASI VARIABEL

Variabel-variabel yang telah diidentifikasikan perlu diklasifikasikan, sesuai dengan jenis dan peranannya dalam penelitian. Klasifikasi ini sangat perlu untuk penentuan alat pengambilan data apa yang akan digunakan dan metode analisis mana yang sesuai untuk diterapkan.

Berkaitan dengan proses kuantifikasi data biasa digolongkan menjadi 4 jenis yaitu (a). Data Nominal, (b). Data Ordinal, (c). Data Interval dan, (d). Data ratio.  Demikianlah pula variabel, kalau dilihat dari segi ini biasa dibedakan dengan cara yang sama

  1. Variabel Nominal, yaitu variabel yang ditetapkan berdasar atas proses penggolongan; variabel ini bersifat diskret dan saling pilah (mutually exclusive) antara kategori yang satu dan kategori yang lain; contoh: jenis kelamin, status perkawinan, jenis pekerjaan
  2. Variabel Ordinal, yaitu variabel yang disusun berdasarkan atas jenjang dalam atribut tertentu. Jenjang tertinggi biasa diberi angka 1, jenjang di bawahnya diberi angka 2, lalu di bawahnya di beri angka 3 dan seterusnya. (ranking)
  3. Variabel Interval, yaitu variabel yang dihasilkan dari pengukuran, yang di dalam pengukuran itu diasaumsikan terdapat satuan (unit) pengukuran yang  sama. Contoh: variabel interval misalnya prestasi belajar, sikap terhadap sesuatu program dinyatakan dalam skor, penghasilan dan sebagainya.
  4. Variabel ratio,  adalah variabel yang dalam kuantifikasinya mempunyai nol mutlak. (Drs. Sumadi Suryabrata .Metologi Penelitian. hal. 26-27)

Menurut Fungsinya variabel dapat dibedakan :

a).           Variabel Tergantung (Dependent Variabel)

Yaitu kondisi atau karakteristik yang berubah atau muncul ketika penelitian mengintroduksi, pengubah atau mengganti variabel bebas.

Menurut fungsinya variabel ini dipengaruhi oleh variabel lain, karenanya juga sering disebut variabel yang dipengaruhi atau variabel terpengaruhi.

Variabel ini sering disebut sebagai variabel output, Kriteria, Konsekuen. Atau dalam bahasa Indonesia sering disebut Variabel terikat. Dalam SEM (Structural Equation Modeling) variabel dependen disebut variabel Indogen.*

b).           Variabel Bebas ( Independent Variabel)

Adalah kondisi-kondisi atau karakteristik-karakteristik yang oleh peneliti dimanipulasi  dalam rangka untuk menerangkan hubungannya dengan fenomena yang diobservasi.

Karena fungsi ini sering disebut variabel pengaruh, sebab berfungsi mempengaruhi variabel lain, jadi secara bebas berpengaruh terhadap variabel lain.

Variabel ini juga sering disebut sebgai variabel  Stimulus, Prediktor, antecendent. Dalam SEM(Structural Equation Modeling) variabel independen disebut variabel eksogen.

c).            Variabel Intervening

Variabel intervenig adalah variabel yang secara teoritis mempengaruhi hubungan antara variabel independen dengan Variabel dependen menjadi hubungan yang tidak langsung dan tidak dapat diamati dan diukur. Variabel ini merupakan variabel penyela/antara yang terletak di antara variabel independen dan dependen, sehingga variabel independen tidak langsung mempengaruhi berubahnya atau timbulnya variabel dependen.

Variabel Intervening juga merupakan variabel yang berfungsi menghubungkan variabel satu dengan variabel yang lain. Hubungan itu dapat menyangkut sebab akibat atau hubungan pengaruh dan terpengaruh.

d).           Variabel Moderator

Dalam mengidentifikasi variabel moderator dimaksud adalah variabel yang karena fungsinya ikut mempengaruhi variabel tergantung serta meperjelas hubungan bebas dengan variabel tergantung.

e).            Variabel kendali

Yaitu yang membatasi (sebagai kendali) atau mewarnai variabel mederator. Variabel ini berfungsi sebagai kontrol terhadap variabel lain terutama berkaitan dengan variabel  moderator jadi juga  seperti variabel moderator dan bebas ia juga ikut berpengaruh terhadap variabel tergantung

f).              Variabel Rambang

Berlainan dengan variabel bebas, yaitu fungsinya sangat diperhatikan dalam penelitian. Variabel rambang yaitu variabel yang fungsinya dapat diabaikan atau pengaruhnya hampir tidak diperhatikan terhadap variabel bebas maupun tergantung. (Drs.Colid Narbuko,Drs.H Abu Achmadi.2004.Metode Penelitian. Jakarta:Bumi Aksara Hal.119-120)

3. MERUMUSKAN DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL-VARIABEL

Setelah variabel – variabel diidetifikasikan dan diklasifikasikan, maka variabel-variabel tersebut perlu didefinisikan secara operasional. Penyusunan Definisi operasional ini perlu, karena definisi operasional itu akan menunjuk alat pengambil data mana yang cocok digunakan.

Definisi Operasional adalah definisi yang didasarkan atas sifat-sifat hal yang didefinisikan yang dapa diamati (diobservasi). Konsep dapat diamati atau diobservasi ini penting, karena hal yang dapat diamati itu membuka kemungkinan bagi orang lain selain peneliti untuk melakukan hal yang serupa, sehingga apa yang dilakukan oleh peneliti terbuka untuk diuji kembali oleh orang lain.

 

Cara menyusun definisi operasional dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu

1). Definisi Pola I, yaitu disusun berdasarkan atas kegiatan-kegiatan (operations) yang harus dilakukan agar hal yang didefinisikan itu terjadi.

Contoh :

– Frustasi adalah keadaan yang timbul sebgai akibat tercegahnya pencapaian hal yang sangat diinginkan yang sudah hampir tercapai.

– Lapar adalah keadaan dalam individu yang timbul setelah dia tidak makan selama 24  jam

– Garam Dapur adalah hasil kombinasi kimiawi antara natrium dan Clorida.

Definisi Pola I ini, yang menekankan Operasi atau manipulasi apa yang harus dilakukan untuk menghasilkan keadaan atau hal yang didefinisikan, terutama berguna untuk mendefinisikan variabel bebas.

2). Definisi Pola II, yaitu definisi yang disusun atas dasar bagaimana hal yang didefinisikan itu beroperasi.

Contoh :

– Orang cerdas adalah orang yang tinggi kemampuannya dalam memecahkan masalah, tinggi kemampuannya dalam menggunakan bahasa dan bilangan.

– Orang Lapar adalah orang yang mulai menyantap makanan kurang dari satu menit setelah makanan  dihidangkan, dan menghabiskannya dalam  waktu kurang dari 10 menit.

3). Definisi Pola III, yaitu definisi yang dibuat berdasarkan atas bagaimana hal yang didefinisikan itu nampaknnya.

Contoh :

– Mahasiswa yang cerdas adalah mahasiswa  yang mempunyai ingatan baik, mempunyai perbendaharaan kata  luas, mempunyai kemampuan berpikir  baik, mempunyai kemampuan berhitung baik.

–   Ekstraversi adalah  kecenderungan lebih suka ada dalam kelompok daripada seorang diri.

Seringkali dalam membuat definisi operasional pola III ini peneliti menunjuk kepada alat yang digunakan untuk mengambil datanya.

Setelah definisi operasional variabel-variabel peneliitian selesai dirumuskan, maka prediksi yang terkandung dalam hipotesis telah dioperasionalkan. Jadi peneliti  telah menyusun prediksi tentang kaitan berbagai variabel penelitiannya itu secara operasional, dan siap diuji melalui data empiris. (Drs. Sumadi Suryabrata .Metologi Penelitian. hal. 30-31)

4. MACAM-MACAM HUBUNGAN ANTAR VARIABEL

Sesungguhnya yang dikemukakan di dalam inti penelitian ilmiah adalah mencari  hubungan antara berbagai variabel.  Hubungan yang paling dasar adalah hubungan antara dua variabel bebas  dan variabel terikat ( Independent variabel dengan dengan dependent variabel).

a.      Hubungan Simetris

Variabel-variabel dikatakan mempunyai hubungan simetris apabila variabel yang satu tidak disebabkan atau dipengaruhi oleh variabel lainnya. Terdapat 4 kelompok hubungan simetris :

1). Kedua variabel merupakan indikator sebuah konsep yang sama.

2). Kedua variabel merupakan akibat daru suatu faktor yang sama.

3). Kedua variabel saling berkaitan secara fungsional, dimana yang satu berada yang lainnya pun pasti disana.

4). Hubungan yang bersifat kebetulan semata-mata.

b.      Hubungan Timbal Balik

Hubungan timbal balik adalah hubungan di mana suatu variabel dapat menjadi sebab dan akibat dari variabel lainnya. Perlu diketahui bahwa hubungan timbal balik bukanlah hubungan, dimana tidak dapat ditentukan  variabel yang menjadi sebab dan variabel  yang menjadi akibat.

c.      Hubungan Asimetris (tidak simetri)

Satu variabel atau lebih mempengaruhi variabel yang lainnya. Ada enam tipe hubungan tidak simetris, yakni :

1).    Hubungan antara stimulus dan respons. Hubungan yang demikian itulah merupakan salah satu hubungan kausal yang lazim dipergunakan oleh para ahli.

2).    Hubungan antara disposisi dan respons. Disposisi adalah kecenderungan untuk menunjukkkan respons tertentu dalam situasi tertentu. Bila “Stimulus” datangnya pengaruh dari luar dirinya, sedangkan “Disposisi” berada dalam diri seseorang.

3).    Hubungan antara diri indiviidu dan disposisi atau tingkah laku. Artinya ciri di  sini adalah sifat individu yag relatif tidak berubah dan tidak dipengaruhi lingkungan.

4).    Hubungan antara prekondisi yang perlu dengan akibat tertentu.

5).    Hubungan Imanen antara dua variabel.

6).    Hubungan antara tujuan (ends) dan cara (means)

5. PENGUKURAN VARIABEL

Pengukuran adalah penting bagi setiap penelitian, karena dengan pengukuran itu penelitian dapat menghubungkan konsep yang abstrak dengan realitas.

Untuk dapat melakukan pengukuran, maka seseorang peneliti harus memikirkan bagaimana ukuran yang paling tepat untuk suatu konsep. Ukuran yang tepat akan memberikan kepada penelii untuk merumuskan lebih tepat dan lebih cermat konsep penelitiannya. Proses pengukuran mengandung 4 kegiatan pokok sebagai berikut :

a). Menentukan indikator untuk dimensi – dimensi variabel penelitian.

b). Menentukan ukuran masing-masing dimensi. Ukuran ini dapat berupa item (pertanyaan) yang relevan dengan dimensinya.

c). Menentukan ukuran yang akan digunakan dalam pengukuran, Apakah tingkat ukuran nominal, ordinal interval atau ratio dan

d). Menguji tingkat validitas dan reliabilitas sebagai kriteria alat pengukuran yang baik.. Alat pengukur yang baik, apabila alat pengukur itu dapat mengungkapkan realita itu dengan tepat. Oleh karena itu dalam pengukuran gejala yang demikian itu yang dianut adalah berdasarkan indikator-indikator konsep tersebut. Jadi kalau akan mengukur intelegensi harus mencari apa yang menjadi indikator perbuatan yang intelegen tersebut.

 

6. VARIABEL ANTARA

Salah satu asumsi dasar di dalam ilmu pengetahuan adalah, bahwa gejala sesuatu harus ada sebab-musahabnya dan tidak begitu saja terjadi dengan sendirinya. Setiap fenomena dipengaruhi oleh serangkaian sebab-musahab. Oleh karena itu setiap kali kita menentukan sebab dari suatu fenomena, selalu akan timbul pertanyaan, apakah sebab yang lainnya? Apakah sebab yang pertama berpengaruh langsung pada fenomena tersebut, ataukah tidak langsung dan melalui sebab yang lainnya? Pertanyaan yang terakhir ini mengantar kita ke suatu faktor penguji yang penting yaitu “Variabel antara”.

Untuk mengatur rangkaian sebab-musabab suatu fenomena, tentu saja lewat pengamatan serta akan sehatlah disamping teori-teori yang menjadi pedoman. Namun di dalam rangkaian sebab akibat itu, suatu variabel akan disebut “Variabel antara” apabila, dengan masuknya variabel tersebut, hubungan statistika yang mulai nampak antara dua variabel menjadi lemah atau bahkan lenyap. Hal ini disebabkan karena hubungan semula nampak antara kedua variabel pokok bukanlah suatu hubungan yang langsung tetapi melalui varibel yang lain.

7. VARIABEL ANTESENDEN

Variabel Antesenden mempunyai kesamaan dengan variabel antara, yakni merupakan hasil yang lebih mendalam dari penelusuran hubungan kausan antara variabel.

Perbedaannya, “Variabel antara ” menyusup diantara variabel pokok, sedangkan variabel Antesenden mendahului variabel pengaruh

Sebenarnya realita antara dua variabel sebenarnya merupakan penggalan dari sebuah jalinan sebab akibat yang cukup panjang. Oleh karena itu setiap usaha untuk mencari jalinan yang lebih jauh, seperti halnya dengan variabel antesenden – akan memperkaya pengertian kita tentang fenomena yang sedang diteliti.

Untuk dapat diterima sebagai variabel antesenden syarat-syaratnya sebagai berikut :

ketika variabel harus saling berhubungan : variabel antesenden dan variabel pengaruh, variebel antesenden dan variabel terpengaruh, variabel pengaruh dan variabel terpengaruh.

Apabila variabel antesenden dikontrol, hubungan antara variabel pengaruh dan variabel terpengaruh tidak lengkap. Dengan kata lain : variabel antesenden tidak mempengaruhi hubungan antara kedua variabel pokok.

Apabila pengaruh dikontrol, hubungan antara variabel antesenden dan variabel terpengaruh harus lengkap.(Drs.Colid Narbuko,Drs.H Abu Achmadi.2004.Metode Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara Hal.131-134)

 

UNTUK FILE POWERPOINT BISA DOWNLOAD VARIABEL PENELITIAN

ASAS-ASAS DALAM HUKUM ACARA PIDANA

3

ASAS-ASAS HUKUM ACARA PIDANA

 

Sistem Inquisitoir dan Accusatoir

Dalam membuktikan adanya tindak pidana Negara dengan perantara alat-alat perlengkapannya melakukan pemeriksaan terhadap tersangka yang diduga terlibat/ikut dalam tindak pidana tersebut. Pemeriksaan dalam tindak pidana ada dua sistem yaitu:

Sistem Inquisitoir

Mengenai system inquisitoir Mr. wirjono Prodjodikoro mengemukakan sebagai berikut:
Sistem inquisitoir (arti kata= pemeriksaan) mengaanggap si tersangka suatu barang, suatu objek, yang harus diperiksa berhubung dengan suatu pendakwaan. Pemeriksaan seperti ini berupa pendengaran si tersangka tentang dirinya pribadi. Sedang S. Tarif, SH mengenai Iquisitoir mengemukakan sebagai berikut:

Tersangka dianggap sebagai objek yang harus diperiksa. Pemeriksaan ini berupa pendengaran, keterangan-keterangan tersangka tentang dirinya, dan biasanya pemeriksa sudah a-priori berkeyakinan bahwa kesalahannya tersangka, sehingga sering terjadi paksaan terhadap tersangka untuk mengaku kesalahannya sehingga kadang-kadang dilakukanya penganiyaan.

Menurut Abdurrahman SH sistem inquisitoir adalah Suatu system pemeriksaan yang memandang seseorang tertuduh sebagai objek dalam pemeriksaan yang berhadapan dengan para pemeriksa dengan kedudukan yang lebih tinggi dalam suatu pemeriksaan yang dilakukan secara tertutup.Dengan melihat beberapa pendapat, dapat disimpulkan sebagai berikut:

Kedudukan tersangka sangat lemah dan tidak menguntungkan karena dalam system inquisitoir tersangka masih dianggap sebagai barang atau objek yang harus diperiksa. Para petugas pemeriksa atau pendakwa biasanya mendorong atau memaksa tersangka untuk mengakui kesalahanya dengan cara pemaksaan bahakan seringkali dengan penganiayaan. Bersifat rahasia atau tertutup, ini berarti bahwa pemeriksaan pidana dengan menggunakan system inquisitoir khusus pada pemeriksaan pendahuluan masih bersifat rahasia sehingga keluarga dan penasihat hukumnya belum berkenan mengetahui atau mendampingi si tersangka.Tersangka belum boleh menghubungi penasihat hukumnya.Penguasa bersifat aktif sedangkan tersangka pasif.

Sistem Accusatoir

Prof Mr. Dr. L.J Van Apeldoorn mengemukakan sebagai berikut:

Sifat accusatoir dari acara pidana yang dimaksud adalah prinsip dalam acara pidana, pendakwa (penuntut umum) dan terdakwa berhadapan sebagai pihak yang sama haknya, yang melakukan pertarungan hukum (rectsstrijd) di muka hakim yang hendak memihak; kebalikannya ialah asas “inquisitoir” dalam mana hakim sendiri mengambil tindakan untuk mengusut, hakim sendiri bertindak sebagai orang yang mendakwa, jadi dalam mana tugas orang yang menuntut, orang yang mendakwa dan hakim disatukan dalam satu orang. Dalam Hukum Acara Pidana, akan dapat ditentukan azas tersurat (tertulis) dan azas tersirat (tidak tertulis) dari kedua system di atas, yaitu Inquisitoir dan Accusatoir.

TERSURAT

  • Praduga Tak Bersalah

Asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) adalah suatu asas yang menghendaki agar setiap orang yang terlibat dalam perkara pidana harus dianggap belum bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya itu. Dalam pemeriksaan perkara pada semua tingkatan pemeriksaan semua pihak harus menganggap bagaimanapun juga tersangka/ terdakwa maupun dalam menggunakan istilah sewaktu berdialog terdakwa.

Prinsip ini dipatuhi sebab merupakan prinsip selain mendapat pengakuan di dalam sidang pengadilan, juga mendapat pengakuan di dalam rumusan perundang-perundangan yaitu terdapat dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan :

“setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”

Prinsip ini berjalan dalam persidangan. Baik di dalam maupun di luar persidangan. Di dalam sidang tampak adanya nuansa yang masih menghargai terdakwa dengan tidak memborgol terdakwa, demikian juga terdakwa tidak boleh ditanya pertanyaan yang sifatnya menjeratkan.

  • Asas Ganti rugi dan Rehabilitasi

Yaitu adanya ganti rugi dan rehabilitasi bagi pihak yang dirugikan karena kesalahan dalam proses hukum. Prinsip ini untuk melindungi kepentingan masyarakat jika ternyata terdapat kesalahan dalam proses hukum acara pidana. Prinsip ini sudah dikenal dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 95, 96, dan 97.

  • Asas Persamaan

Suatu asas dimana setiap orang atau individu itu memiliki kedudukan yang sejajar antara satu dengan yang lainnya didepan hukum, dan pengadilan didalam mengadili seseorang tidak boleh membeda-bedakan orang satu dengan yang lainnya.

Dasar hukumnya terdapat pada Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman pasal 5 ayat (1), dan KUHAPdalam penjelasan umum butir 3a.

  • Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan

Yaitu pelaksanaan peradilan secara tidak berbelit-belit dan dengan biaya yang seminim mungkin guna menjaga kestabilan terdakwa.Asas ini menghendaki agar peradilan dilakukan dengan cepat. artinya, dalam melaksanakan peradilan diharapkan dapat diselesaikan dengan sesegera mungkin dan dalam waktu yang singkat. Sederhana mengandung arti bahwa dalam menyelenggarakan peradilan dilakukan dengan simpel, singkat dan tidak berbelit-belit. Biaya murah berarti penyelenggaraan peradilan dilakukan dengan menekan sedemikian rupa agar terjangkau oleh pencari keadilan, menghindari pemborosan, dan tindakan bermewah-mewahan yang hanya dapat dinikmati oleh yang berduit saja (seperti pameo dalam realisme hukum, why the have come out a head/ Mark Galanter).

Dalam Pasal 3 e Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan masalah asas ini ‘peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana, dan biaya ringan serta bebas, jujur, dan tidak memihak harus ditetapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan. Yahya Harahap (2002a: 53) mengomentari asas ini dengan mengaitkan dengan ketentuan yang relevan dengan KUHAP terlihat dengan term “dengan segera’ Seperti segera mendapatkan pemeriksaan dari penyidik (Pasal 50 ayat 1). Beberapa rumusan Pasal-Pasal KUHAP diantaranya, Pasal 24 ayat 4, Pasal 25 ayat 4, Pasal 26 ayat 4, Pasal 27 ayat 4, Pasal 28 ayat 4, Pasal 50, Pasal 102 ayat 1, Pasal 107 ayat 3, Pasal 110 dan Pasal 140.

Selain peraturan di atas, azas ini juga diatur dalam pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi:

“Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan”.

  • Asas legalitas 

Merupakan asas yang digunakan untuk menentukan suatu perbuatan termasuk dalam kategori perbuatan pidana yang merupakan terjemahan dari principle of legality.

Oleh karena itu, asas legalitas merupakan asas yang esensiel di dalam penerapan hukum pidana. Pasal 1 ayat (1) KUHP mencantumkan asas legalitas ini sebagai berikut :

“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas ketentuan-ketentuan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”.

Dari rumusan tersebut, dapat diartikan bahwa suatuperbuatan baru dapat dipidana jika :

Ada ketentuan pidana tentang perbuatan tersebut yang dirumuskan dalam Undang-Undang atau tertulis sebagaimana disebutkan dalam kalimat “atas ketentuan-ketentuan pidana dalam perundang-undangan”.

Dilakukan setelah ada rumusannya didalam peraturan perundang-undangan sebagaimana tercantum dalam kalimat “ketentuan perundang-undangan sudah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Dengan perkataan lain ketentuan pidana tidak berlaku surut (retro aktif).Perkecualian terhadap larangan retro aktif atau berlaku surut ini dimungkinkan oleh pasal 1 ayat (2) KUHP yang berbunyi :

“Apabila ada perubahan perundang-undangan sesudah perbuatan terjadi, maka haruslah dipakai ketentuan teringan bagi terdakwa”.

Dari ketentuan pasal 1 ayat (2) tersebut, Ruba`i (2001) mengartikan bahwa larangan berlaku surut dapat disimpangi bila :

Sesudah terdakwa melakukan tindak pidana ada perubahan dalam perundang-undangan.

Peraturan yang baru lebih meringankan terdakwa.

  • Peradilan tebuka Untuk Umum

Yaitu hak dari publik untuk menyaksikan jalannya peradilan (kecuali dalam hal-hal tertentu), artinya pemerikasaan pendahuluan, penyidikan, dan praperadilan tidak terbuka untuk umum. Hal ini dapat diperhatikan pula Pasal 153 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP yang berbunyi sebagai berikut:

“Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kasusilaan dan terdakwanya anak-anak” ayat (3).

Menurut pasal 19 Undang-Undang kekuasaan Kehakiman, kalau hakim menyatakan siding tertutup untuk umum demi menjaga rahasia hal itu tidak diperbolehkan. Karena pasal 19 tidak menyebut secara limitatife pengecualian seperti KUHAP tersebut. Dengan KUHAP ini, siding tertutup untuk umum demi menjaga rahasia menjadi putusan yang batal demi hukum. Berarti, azas peradilan terbukan untuk umum merupakan kategori azas yang tersurat. Karena ketentuannya terdapat di dalam KUHAP.

  • Kekuasaan Hakim yang Tetap

Yaitu peradilan harus dipimpim oleh seorang/sekelompk hakim yang memiliki kewenangan yang sah dari pemerintah. Hal in I berarti pengambilan keputusan salah tidaknya terdakwa dilakukan oleh oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap. Untuk jabatan ini diangkat hakim-hakim yang tetap oleh kepala negara. Ini disebut dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Sehingga dengan adanya ketentuan yang jelas tentang kekuasaan kehakiman yang tetap dalam Undang-Undang Kekuasan Kehakiman, maka azas ini merupakan azas tersurat.

  • Asas Keseimbangan

Yaitu proses hukum yang ada haruslah menegakkan hak asasi manusia dan melindungi ketertiban umum. Sejalan dengan azas keseimbangan ini, KUHAP memperhatikan keseimbangan antara:

Perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dengan

Perlindungan terhadap kepentingan dan ketertiban masyarakat

Dalam KUHAP, dijelaskan azas keseimbangan terhadap anak pada Pasal 153 ayat (5) yang berbunyi:“hakim ketua sidang dapat menentukan bahwa anak yang belum mencapai umur 17 tahun tidak diperkenankan menghadiri sidang”. Dalam penjelasannya pasal ini dimaksudkan untuk menjaga supaya jiwa anak yang masih di bawah umur tidak terpengaruh oleh perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa, lebih-lebih dalam perkara kejahatan berat, maka hakim dapat menentukan bahwa anak di bawah umur 17 tahun, kecuali yang telah atau pernah kawin, tidak boleh mengikuti sidang.

  • Bantuan hukum bagi terdakwa

Yaitu adanya bantuan hukum yang diberikan bagi terdakwa. Dalam Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 KUHAP diatur tentang bantuan hukum tersebut dimana tersangka/terdakwa mendapat kebebasan yang sangat luas. Kebebasan itu antara lain sebagai berikut. Bantuan hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau ditahan. Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan. Penasihat hukum dapat menghubungi tersangka atau terdakwa pada semua tingkat pemeriksaan pada setiap waktu.Pembicaraan antara penasehat hukum dan tersangka tidak didengar oleh penyidik dan penuntut umum kecuali pada delik yang menyangkut keamanan negara.

Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasihat hukum guna kepentingan pembelaan. Penasihat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari tersangka atau terdakwa. Pembatasan hanya dikenakan jika penasehat hukum menyalahgunakan hak-hak tersebut.Tidak hanya di dalam KUHAP, prinsip ini merupakan prinsip umum yang diatur dalam konvensi internasional tentang hak sipil dan politik. Prinsip umum tentang bantuan hukum adalah:

Dapat didampingi di semua tingkat pemeriksaan (Pasal 54);

Dapat memilih sendiri penasihat hukumnya (Pasal 55);

Wajib diberikan bantuan hukum secara Cuma-Cuma untuk terdakwa dengan ancaman pidana mati/ pidana penjara 15 tahun/ bagi yang tidak mampu dengan ancaman pidana penjara 5 tahun lebih. Dengan adanya ketentuan pasal 69 hingga pasal 74 KUHAP ini, maka azas penentuan hukum bagi terdakwa jelas merupakan azas tersurat.

Asas Accusatoir

Yaitu penempatan tersangka sebagai subjek yang memiliki hak yang sama di depan hukum. Asas accusatoir menunjukan bahwa seorang terdakwa yang diperiksa dalam sidang pengadilan bukan lagi sebagai objek pemeriksaan. Melainkan sebagai subjek. Asas accusatoir telah memperlihatkan suatu pemeriksaan terbuka, dimana setiap orang dapat menghadiri dan menyaksikan jalannya pemeriksaan. Terdakwa mempunyai hak yang sama nilainya dengan penuntut umum, sedangkan hakim berada di atas kedua belah pihak untuk menyelesaikan perkara pidana menurut hukum pidana yang berlaku.Sebagai realisasi prinsip accusatoir di pengadilan terlihat. Terdakwa bebas  berkata-kata. Bersikap sepanjang untuk membela diri dan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, seringnya terdakwa diam tanpa menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Adanya penasihat hukum yang mendampingi terdakwa untuk membela hak-haknya. Selain itu, terdakwa bebas mencabut pengakuan-pengakuan yang pernah ia kemukakan di luar sidang dan ini dapat dikabulkan sepanjang hal itu logis dan beralasan.

Asas ini tersurat dalam KUHAP yaitu pada Pasal 52, Pasal 55, Pasal 65 karena kebebasan memberi dan mendapatkan nasihat hukum menunjukkan bahwa dengan KUHAP telah dianut asas akusator (accusatoir).

 

TERSIRAT

  • Asas Personal aktif

Yaitu, asas dimana Ketetentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi warga Negara yang di luar Indonesia melakukan : salah satu kejahatan yang terdapat didalam KUHP, serta salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang-undangan Negara dimana perbuatan itu dilakukan diancam dengan pidana. Asas ini diatur didalam pasal 5 KUHP.

  • Asas Oportunitas

Yaitu hak seorang Jaksa untuk menuntut atau tidak demi kepentingan umum. A.Z. Abidin Farid memberi perumusan tentang azas opputunitas sebagai berikut:“azas hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atu korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum”.

Pasal 35c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, dengan tegas meyatakan azas opportunitas itu dianut di Indonesia. Dalam hal ini Lemearie mengatakan bahwa azas opportunitas biasanya dianggap sebagai suatu azas yang berlaku di Indonesia, sekalipun sebagai hukum tidak tertulis yang tidak berlaku.

  • Asas Diferensiasi Fungsional ( Jaksa sebagai Penuntut Umum dan Polisi sebagai Penyidik).

Yaitu penegasan batas-batas kewenangan dari aparat penegak hukum secara instansional. Azas diferensiasi fungsional ini diatur dalam Pasal 5, Pasal 7,  Pasal 5 KUHAP tentang kewenangan penyelidik. Penyelidik sebagaimana yang dijelaskan Pasal 4 KUHAP adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia. Pasal 7 KUHAP tentang wewenang penyidik, dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

  • Pemeriksaan Hakim Yang langsung dan lisan

Yaitu peradilan dilakukan oleh hakim secara langsung dan lisan (tidak menggunakan tulisan seperti dalam hukum acara perdata artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Pemeriksaan hakim juga dilakukan secara lisan, artinya bukan tertulis antara hakim dan terdakwa. Ketentuan mengenai hal di atas dapat diambil dari penjabaran pasal-pasal 154, 155 KUHAP, dan seterusnya. Hal ini menunjukkan bahwa azas pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan tersirat dalam KUHAP.

 

Prinsip Penggabungan Pidana dengan Tuntutan Ganti Rugi

Yaitu dipakainya gugatan ganti rugi secara perdata untuk menyelesaikan kasus pidana yang berhubungan dengan harta kekayaan.